Sabtu, 28 Mei 2011

Seni Perhiasan Aceh Dikagumi Dunia

Sejak berdirinya kerajaraan Islam Samudera Pasai pada sekitar abad ke-13, Aceh dikenal sebagai salah satu pusat peradaban Islam terpenting di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara. Tingkat kemajuan peradaban yang dikembangkan kerajaan Islam Samudera Pasai ketika itu tidak hanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan Islam, melainkan telah mampu mencetak mata uang  dalam bentuk Derham Aceh yang terbuat dari emas yang dikenal dengan “Dirham Pasai”. 


Pada mata uang tersebut pada kedua sisinya masing-masing tertulis¬: Sulthan Muhammad Malik Az-Zahir (1297-1326) dan di sebelahnya lagi tertulis: Sultan Al-Adil.  Dirham yang terbuat dari emas 16-18 karat ini beratnya 0, 600 gram (600 miligram) per biji. Menurut penelitian numismatik, mata uang Dirham Pasai ini adalah mata uang tertua di Nusantara dan di kawasan Asia Tenggara.





Sisa-sisa dari bekas kemajuan peradaban Aceh yang masih terting¬gal, seperti mata uang Dirham Pasai yang terbuat dari emas  kini perlu terus di pelihara dan dilestarikan, sehingga generasi yang akan datang dapat  mengenal kebesaran peradaban Aceh di masa lalu. Penulis secara pribadi terus berupaya memelihara dan melestarikan benda-benda warisan budaya Aceh, tidak hanya dalam bentuk mata uang Dirham yang dikeluarkan masa kerajaan Islam Samudera Pasai, tapi juga Dirham yang dikeluarkan masa kerajaan Islam Aceh Darussalam, dan hampir semua jenis benda-benda budaya warisan masa lalu Aceh lainnya sekarang ada dalam pelestarian dengan pemeliharaan yang sangat baik dalam koleksi museum pribadi penulis. 



Makanya tak heran,  kalau Aceh dulu dikenal sebagai salah satu penghasil emas terbesar di Nusantara. Penambangan emas di Aceh sudah di¬lakukan sejak ratusan tahun lalu di perbukitan antara Pidie dan Meulaboh. Pada waktu pemerinta¬han Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan Sultan Iskandar Thani (1636-1641), saat itu Aceh mencapai puncak kejaannya. Istana Kerajaan konon mengkaryakan beratus-ratus seniman termasuk di dalamnya adalah pandai emas untuk menghasilkan karya seni kerajinan yang berkualitas tinggi. 



Sebagian perhiasan emas buatan seniman Aceh  masa lalu, selain masih tersimpan pada penulis, juga masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta dan Museum  Negeri Belanda , serta di Museum Negeri Aceh Banda Aceh. Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda di Aceh, mereka sangat tertarik dengan motif-motif perhiasan  Aceh, terutama bagi petinggi dan pejabat-¬pejabat Belanda ketika mereka bertugas di Aceh. 



Bisa jadi, selama Belanda berada di Aceh banyak jenis perhiasan dan benda-benda budaya Aceh lainnya yang mereka angkut membawa pulang ke negeri Belanda.  Beberapa orang  Belanda yang sempat membuat catatan secara detail tentang perhia¬san orang Aceh, sekaligus nama-nama utoh (perajin) perhiasan Aceh,  antara lain, Cristian Snouc Hurgronje, Julius Jacobs,  J. Kreemer, P. A. F.  Blom dan TJ. Velman.  Nama terakhir ini malah sempat membuat sebuah laporan panjang tentang perhiasan tradisional Aceh. Laporan ini pernah diturunkan dalam seri penerbitan berkala di negeri  Belanda. 



 Menurut Veltman, dalam tahun 1903 ia banyak sekali menemukan perhia¬san Aceh yang telah berusia 100 tahun.  Bila perhiasan-perhiasan itu masih ada yang menyimpannya-seperti yang tersimpan dalam koleksi Museum pribadi penulis sekarang ini-berarti benda-benda perhiasan Aceh itu kini telah berusia lebih dari dua ratus tahun. Saat itu saja dalam laporannya Veltman mencatat banyak jenis perhiasan Aceh yang ditemukan dan kala itu sudah tergolong sebagai benda budaya Aceh yang   langka.  



 “.amat disayangkan kalau benda-benda dan kerajinan seni tempa emas dan perak Aceh akan le¬nyap, karena perhiasan-perhiasan Aceh itu memiliki nilai keindahan seni yang sangat istimewa, serta mampu memancarkan suatu sinar dari watak penduduknya.”, tulis T.J. Veltman dalam laporannya. 



Catatan lain oleh  seorang  pejabat Belanda menyebutkan,  pada  awal abad 19 di Aceh telah banyak pengrajin perhiasan  yang  dikenal. Di Pidie menurut catatan Belanda terdapat lebih dari 20 pengrajin (Utoh) seni tempa emas dan perak, mereka mendapat pendidikan kerjian itu dari Gampong Lhong (sekarang Lampeuneurut), Aceh Besar. 



Di Gampong Lhong pada zaman Belanda terkenal dengan seorang perajin perhiasan Aceh  bernama Teuku Nyak Bintang yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Waki Usuh. Demikian pula di seputar Kutaraja (Banda Aceh) saat itu juga terdapat beberapa desa pengrajin perhiasan emas, seperti Gampong Pande, Pante Pirak, Blang Oi dan Gampong Lamseupeung pada zaman Belanda terkenal seorang pengrajin perhiasan emas dan perak bernama Utoh Mohammad. Amin (termasuk Nek Tu dari penulis). 



Kekaguman orang luar terhadap seni kerajinan Aceh  hingga kini masih  luar biasa, baik perhiasan maupun benda-benda sejarah budaya tradisional lainnya.  Misalnya saja, seorang wanita Australia yang pernah tinggal di Aceh mengikuti suaminya sebagai dosen tamu di Universitas Syiah Kuala, bernama  Barbara Leigh (1978),   memanfaatkan kesempatan tersebut untuk  meneliti bentuk-bentuk seni kerajinan Aceh yang dinilai memiliki seni yang sangat tinggi. 



Hasil penelitian ibu dua anak ini  kemudian direrbitkan dalam sebuah buku berjudul :  Hands of Time:The Crafts of Aceh (Tangan-Tangan Terampil Seni Kerajinan Aceh). Buku yang dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia oleh Latifa Thajeb Tirtosudiro (anak mantan Gubernur Aceh Hadi Thajeb) ini, di dalamnya tidak hanya membahas tentang seni kerajinan tempa emas dan perak, tapi hampir semua keterampilan seni kerajinan Aceh diungkapkan oleh Barbara Leigh dalam buku yang diterbitkan oleh Penerbit Djambatan tahun 1989 ini. Menurut Barbara Leigh,  seni kerajinan Aceh  tidak diciptakan untuk menjadi barang perdagangan pariwisata, atau se¬bagai pekerjaan sambilan yang berkesan romantis, tidak pula dibuat menurut selera pekerja.  Dikatakan, karya seni kerajinan yang dihasilkan orang Aceh pada dasarnya ada hubungannya dengan jalinan kehidupan kultural, politik, dan keagamaan yang menjiwai masyarakat Aceh.  



Saat ini benda-benda budaya hasil kerajinan Aceh masa lalu, terutama perhiasan emas, selain masih ada yang ter¬simpan di Museum Nasional Jakarta, di Museum Negeri Belanda dan Museum Negeri Aceh Banda Aceh, kabarnya benda-benda budaya hasil kerajian Aceh masa lalu ini juga masih terdapat dalam koleksi keluarga alm. Brigjen Teuku Hamzah Bendahara, di samping sebagiannya ada dalam koleksi  Museum pibadi penulis sendiri. Jumlah koleksi pada penulis   sekitar 300 koleksi perhiasan emas, perak, dan suasa, yang sudah sangat langka ditemukan. Semua koleksi perhiasan yang ada pada penulis sekarang rata-rata telah berusia sekitar 150-250 tahun.



Jenis perhiasan hasil seni kerajinan tradisional Aceh yang sudah langka ditemukan sekarang adalah taloe takue being meuih, taloe takue manek krawang, eunteuk boh deureuham, taloe takue bungong jok, eunteuk taloe gule, eunteuk boh agok, eunteuk boh ru, keutap lhee lapeh, keutap bajee, seurapi, kawet bejee, boh dop ma, simplah, aneuk bungkoh, sawek merante,  gleung pucok reubong, geleung sisek meureuya, cupeng, aneuk bungkoih (ija samadah), ayeum gumbak, aneka macam gelang kaki dan gelang tangan, perhiasan kepala, serta jenis-jenis perhiasan Aceh lainnya  yang kini sudah sangat langka ditemukan. Jika benda-benda budaya hasil kerajinan Aceh masa lalu yang masih terdapat dalam koleksi-koleksi Museum negeri dan pada kolektor-kolektor secara pribadi tidak dipelihara dengan baik, bukan tidak mungkin semua benda-benda budaya itu akan rusak dan punah dengan sendirinya. 


--------***********--------



* Harun Keucik Leumik _Penulis adalah kolektor benda-benda budaya peninggalah sejarah Aceh, dan Ketua Bidang Pusaka Pembina Khasanah Adat Majlis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh.

Sumber :Harian Serambi Indonesia  Sun, Mar 27th 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar